Studioraga – Hidup diantara seni dan keilmuwan, berada di tengah objektif serta subjektifitas, kami mengulik seorang seniman konseptual yang hidup berdampingan sebagai seorang dokter. Lahir di pangkal pinang pada 23 agustus 1994, Maesa Ranggawati Kusnandar menyelesaikan pendidikannya di bidang kedokteran pada tahun 2018.
Keilmuan yang didapat oleh dokter Eca, ia tuangkan kedalam karya seni yang bisa dibilang sebagai “wadah” dalam membagikan edukasi kepada masyarakat luas. Bagi dokter Eca untuk bisa memahami bagaimana suatu ilmu bekerja dan mengisi celah yang kosong dalam berekspresi di kesenian serta dapat tersampaikan makna yang ingin dibagikan harus melalui komunikasi yang tepat.
“Harapan saya dengan karya saya, orang bisa teredukasi. Lebih kepada pemahaman tentang hal hal yang terlihatnya jauh dari mereka tapi ternyata dekat dengan mereka”
Salah satu karya dokter Eca adalah Algia. Umumnya Algia dipakai sebagai akhiran kata seperti Cephalgia (yang merujuk pada nyeri kepala), Myalgia (nyeri otot), Arthralgia (nyeri sendi) dan lainnya. Pada karya ini Dokter Eca dihadirkan beragam persepsi dan respon mengenai nyeri dari setiap individu. Nyeri kontraksi ketika akan melahirkan, dianggap sebagai nyeri paling menyakitkan.
Seperti halnya sebuah rasa sakit, karya Algia tersebut menawarkan perspektif unik dengan mempertanyakan “adakah rasa sakit yang membawa kebahagiaan?” jawabannya ada, yaitu kontraksi melahirkan. Proses 9 bulan mengandung, jeritan nyeri yang dirasakan setiap harinya, bisa terbayarkan demi melihat kelahiran sang buah hati yang telah ditunggu tunggu.
Dalam proses interview tim Studioraga menanyakan “Bagaimana cara Dokter Eca merawat energi dalam mengulik hal yang di sukai terhadap kesenian di dalam ilmu kedokteran?”
“awalnya adalah keseharian. Keseharian saya sebetulnya bertemu pasien dan saya ada kecenderungan untuk mempertanyakan suatu fenomena yang terjadi. Hal ini terjadi secara natural dan menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi fuel saya dalam berkesenian”
Dokter Eca merasa salah satu cara yang efektif dalam menyalurkan keilmuwan adalah kesenian. Ia sadar bahwa setiap orang memiliki reaksi terhadap nyeri yang berbeda beda, bisa dibilang sangat subjektif dan dalam cara orang bereaksi terhadap suatu nyeri, dipengaruhi pengalaman mereka sebelumnya. Begitupun dengan pemahaman mereka terhadap nyeri yang mereka alami tersebut.
Pemahaman nyeri ini membawa topik interview Studioraga terhadap batasan normal yang dimiliki setiap manusia. Dimana setiap hal tidak bisa disamaratakan. Normal menurut dokter Eca tidak mempunyai standar dan setiap individu memiliki batas normalnya masing masing. “what is normal for spider, is a chaos for the fly” ujarnya.
Pengalaman hidup yang dilewati dokter Eca melalui pemahamannya terhadap banyak manusia yang ia temui, membawanya pada suatu kesadaran bahwa hidup seorang manusia itu sangatlah Fragile. Proses merespon kehidupan yang terkesan berat memaksa kita meresisten setiap hal yang terjadi di hidup kita.
Perasaan untuk bereaksi terhadap hal atau kejadian tersebut jika tidak dapat kita olah, akan menjadi reaksi emosi yang tumpul. Hal ini akhirnya menjadi pengingat kepada kita semua tentang kesadaran dalam berempati terhadap apa yang orang lain rasakan.
Mendengar keluh kesah orang lain tanpa harus merasa diri kita adalah individu yang paling fragile dan hanya bertujuan untuk bisa merespon yang ujung – ujungnya malah menjadi kompetisi “siapa yang paling tersakiti” merupakan proses ketidaktahuan diri dan kurangnya pemahaman untuk saling melengkapi.
Sebagai seorang manusia, melalui proses interview dokter Eca, beliau banyak menyadarkan kita bahwa kita harus bisa memahami bukan hanya orang lain namun juga apa yang terjadi terhadap diri kita sendiri. Memahami kebutuhan yang diperlukan oleh jiwa dan raga melahirkan hidup yang berkualitas dan bisa kita rasakan manfaatnya dikemudian hari.
Interview dokter Eca bisa sobat studio lihat di THE LIVING ENIGMA INSIDE DR. MAESA M.SC