Studioraga – Salvius Alvin, seorang desainer grafis dari Bandung, Indonesia. Besar dari pengaruh arsitektur sang ayah hingga seni lukis dari sang kakek, Salvius Alvin banyak mempelajari sisi estetika visual di lingkungan besarnya.
Seringkali museum menjadi tempat eksplorasi diri dari Salvius Alvin dalam mengasah ketertarikannya di visual grafis. Lulus dari universitas DKV BINUS, Salvius Alvin memulai karir desain grafisnya di salah satu house design (LeBoYe) and the rest is history.
Memulai karir di bidang desain grafis, melebarkan sayap di kewirausahaan, dan sekarang menjadi seorang pelukis. Kisah tak tertulis disampaikan secara langsung kepada tim StudioRaga pada kesempatan interview 20 April 2024 lalu.
Interview di mulai dari mempertanyakan bagaimana Salvius Alvin menggeluti seni lukis yang memang tadinya tidak secara publik ia bagikan. Karya dari Salvius Alvin lahir dari sebuah canda teman dekatnya yang ternyata aktifitas melukis tersebut, menurut-nya merupakan sebuah metode terapi dalam menenangkan pribadi Salvius Alvin. Serta moment untuk memahami dirinya sendiri lebih jauh, yang akhirnya di tuangkan dalam sebuah karya lukis.
Aktifitas melukis ini di respon baik oleh banyak pihak mulai undangan pameran secara kolektif hingga dilanjutkan ketahap pameran tunggal.
Tentu Kegiatan tersebut (melukis) tidak luput dari faktor support sistem yang baik. Tim StudioRaga menanyakan “adakah peran orang lain dalam mendukung mas Alvin dalam dunia seni lukis serta desain?”
Dalam hal ini Salvius Alvin mempertegas bahwa support yang ia dapat justru banyak sekali.
“Utamanya dari orang tua yang menguliahkan di DKV BINUS, sampai difasilitasi in de kos yang
layak dan uang jajan untuk Living cost. Semua adalah support” ujar Salvius Alvin. Tidak jauh dari
lingkungan Salvius Alvin, ia mengungkapkan bahwa dirinya sangat beruntung dengan adanya small
circle (teman, istri, keluarga, orang tua) yang sampai saat ini masih men-support apapun kegiatan
yang ia lakukan hingga membuatnya merasa dipermudah dalam mengambil setiap pilihan.
Salvius Alvin mengungkap bahwa dahulu ia adalah orang yang egois, individualistis hingga overthingking. Hal ini membuatnya menemukan satu titik untuk bisa lebih mengkontrol hal yang ada di dalam dirinya tersebut dengan cara “accepatance vunerable” dan “learning” sehingga semua hal itu mampu untuk di “turn down”.
Setiap hal kecil yang diberikan dan diungkapkan orang lain melalui kalimat hingga aksi fisik merupakan support yang terkadang tidak kita sadari bahwa hal tersebut sangat dekat dengan diri kita. Kita mungkin sudah terlalu jauh untuk bisa mendambakan sesuatu hal yang kita inginkan. Lebih dekat dari itu, kita malah mempunyai segudang bahan bakar yang terkadang kita tidak sadari bahwa bahan bakar tersebut ada di sekitar kita yang mudah di akses sekaligus sederhana.
Dalam proses “mengerti orang lain” sampai dengan “menurunkan ego”, ia belajar ketika ia sudah bisa melihat segala hal ataupun kejadian dari segi positif, itu menjadi bekal serta memori di dalam alam bawah sadarnya hingga menjadikan pandangan positif tersebut sebagai inspirasinya dalam melukis ataupun desain.
“kaya misalkan gua harus melukis tentang mood keluarga, gua akan melukis telor kecap. Karena gue inget pengalaman gua tuh dari jaman dulu gua pernah ngerasain situasi yang tidak seberuntung itu, nyokap gue cuman masakin telor kecap. Sampai sekarang kalau gue balik kerumah nyokap, tanpa gue minta pasti suka masakin gua telor kecap.”
Memori itulah yang menurutnya menjadi sebuah pedoman visual hidup dalam perjalanan Salvius Alvin yang akhirnya dituangkan kedalam karya seninya.
Memaknai proses hidup Salvius Alvin, kami bertanya “Dari seluruh hal di dunia ini yang sudah Salvius Alvin lakukan atau dengan diri Salvius Alvin yang sekarang, ini semua sudah termasuk mimpi Salvius Alvin atau belum?”
“mimpi buat gue adalah ekspektasi, sedangkan kalau semakin tinggi ekspektasi lalu tidak kejadian malah bisa menjadi beban pikiran” ujarnya.
“kalau dibilang sudah mencapai mimpi, pasti belum. Cuman terkadang mimpi tersebut selalu bertambah dengan mimpi-mimpi yang baru terus. Dan akhirnya ekspektasi dan mimpi yang tadi berubah menjadi dorongan gua untuk lebih maksimal dalam berkarya. Tentunya tidak mengorbankan realita yang sekarang” tambahnya.
Salvius alvin memiliki istri dan anak yang sangat ia cintai. Lebih besar dari apapun yang menurutnya ada di dunia. Terlihat fana, namun makna yang masih hidup hingga sekarang menjadi fakta untuk terus tetap melakukan hasil yang terbaik di setiap hari yang ia lalui.
“Gua tidak mau mengejar mimpi tapi harus mengorbankan mereka” tegasnya. Salvius Alvin berpendapat bahwa kita tetap memerlukan mimpi dari apapun hal yang kita inginkan, yang menjadi pertanyaan bagaimana cara kita merespon mimpi tersebut dengan aksi yang ujung-ujungnya membawa diri kita ke tujuan (mimpi) yang kita inginkan tersebut.
“Mimpi ini akan selalu berubah seiring berjalannya waktu. Dari sekian banyak proses menjalani mimpi yang ada, kita harus bisa mengutamakan realita dan realita menurut gua adalah keluarga.”
Dari perbincangan singkat selama 1 jam ini tim StudioRaga banyak belajar dalam memberikan support system yang baik kepada sesama, menghargai setiap keputusan, dan cara menimbang mimpi yang juga harus setara dengan kehidupan realita yang dijalani.
Interview ini bisa sobat studio tonton di TIMELESS JOURNEY OF SALVIUS ALVIN